Contoh cerpen dan ulasannya :
Sebuah Mimpi Sebelum Tidur
“ Good Bye my last years, welcome New Year, happy
time, happy day, everywhere ”, ku lihat lagi sebuah catatan kecil yang sempat
ku tulis beberapa waktu yang lalu di tanggal terakhir kalender 2013. Malam ini
adalah malam ketiga di tahun 2014, malam yang sunyi, malam yang sepi. Di tengah
gelapnya malam, di antara lampu-lampu yang tak menyala, hanya kamarku yang
masih berbinar. Malam yang dingin dan melelahkan, itulah yang terasa saat ini.
Hanya angin yang berhembus pelan, menari di antara celah dedaunan yang setia
menemaniku di malam kelam ini. Hati masih risau dan terbengkalai, otot dan
saraf-saraf di tubuh ini masih merintih, namun mata masih enggan tuk terpejam.
Ku ambil gitar, ku coba merangkaikan suasana hati
melalui melodi yang merambat dan bergetar. Namun sayangnya itu tak berhasil
membuat hatiku merasa nyaman. Ku rebahkan kembali tubuhku di atas ranjang
tempat tidur yang tak seberapa nyaman ini. Mata belum juga terpejam,. “December
30, time to action with TL theater team, Ganbatte kudasai ne!”, sebuah tulisan
yang terselip di antara puluhan gambar yang terpampang di tembok membuatku
menarik nafas yang dalam. Kemudian fikirku melambung jauh, ingatan tentang hari
ini dan beberapa hari yang lalu mengunjungiku, mengganggu perasaanku.
Malam ini, malam yang menggetarkan hati. Ah
bukan, tapi malam yang mengguncang jiwa. Hal ini tidak lagi seperti menggores
hatiku, tapi telah merobek dan mencabik-cabik harapanku. Tak terbayangkan lagi
waktu luang yang telah terbuang sia-sia dua minggu bahkan sebulan terakhir ini.
Kebanggaan dan senyum yang seharusnya menjadi hasil akhir dari keringat selama
ini, ironisnya hanya menyisakan rasa kecewa yang melumatkan hati. Kenangan dua
minggu liburan akhir semester lalu merasuki otakku. Tiba-tiba aku teringat
sesuatu, sebuah foto dan video yang tak sengaja dibuat ketika aku dan
teman-teman teater berlatih untuk mempersiapkan diri untuk sebuah acara yang
ternyata hanya sebagai ajang kekecewaan kami. Ketika aku lihat kembali
saat-saat kebersamaan bersama mereka, sungguh aku merasa hidup kembali. Aku
merasakan ada sesuatu yang melengkapi hidupku, melengkapi jiwaku, bersama
mereka. Ada sesuatu yang tak mampu diwakili oleh kata apapun saat mata ini
melihat senyum tertoreh di setiap wajah kami. Aku merasakan sentuhan kehangatan
dan keterbukaan di setiap celah kebersamaan kami. Semangat api yang menyala
saat kami berbondong-bondong berkeringat ke sekolah dikala teman-teman yang
lain menikmati secangkir teh hangat di hari liburnya. Mendung, gerimis, becek,
hujan, bahkan badai semua itu terasa sirna ketika kami saling bertemu satu
dengan yang lainnya.
Mungkin berat rasanya mengorbankan hari libur dan
kegiatan yang menyibukkan lainnya untuk sebuah pertemuan, tapi karena kami
punya mimpi yang sama itu takkan seberapa. Memang senang rasanya latihan
berjalan dengan cukup baik, meski pun tak terpungkiri banyak masalah yang
melengkapi. Tapi ini lain lagi ceritanya, karena kerja keras kami dibayar
dengan kekecewaan. Mungkin tak apa untuk teman-temanku, tapi aku sudah menaruh
banyak harapan pada pementasan itu. Tangis tak terelakkan lagi, hanya air mata
yang menggantikan keringat ku, keringat kami semua. Jujur itu menyakitkan
untukku, meski pun ini bukan sakit yang pertama lagi.
Belum lekas sembuh juga luka saat itu, hari ini
kesempatan yang seharusnya membantu menyembuhkan luka itu sebaliknya hanya
mempersulit dan menambah kedalaman lukaku. Sungguh aku sangat kecewa, tidak
hanya kepada orang lain, tapi juga diriku sendiri. Hmm, sebulan sudah aku dan
anak-anak di desaku belajar menari, belajar kekompakan, dan khusus untukku
belajar bersabar mendidik anak-anak yang nakal itu. Dua kali dalam seminggu aku
meluangkan waktu untuk merasakan kebersamaan lainnya, yang tidak lain adalah
mereka, anak-anak di desaku. Di sini, bersama mereka aku bisa mengerti
bagaimana perasaan menjadi seorang kakak, seorang guru, seorang teman, dan
belajar menahan diri. Yaah, dengan usaha dan sedikit tekanan batin, aku
berusaha menggerakkan tangan-tangan kecil mereka, menuntun gerakan tubuh mereka
yang masih kaku, dan itu cukup membuahkan hasil. Kami anak-anak desa yang
mencintai alunan gamelan yang menghanyutkan jiwa, telah bersiap untuk
menunjukkan apa yang telah kami persiapkan selama sebulan terakhir. Dengan
semangat kami, dengan balutan keringat kami.
Tapi, hari ini kesiapan itu tengah berada dalam
goncangan. Dengan berat hati, aku dan lima anak lainnya tak bisa ikut menari
ataupun menyanyikan lagu-lagu indah dalam iringan gamelan tiga hari lagi karena
suatu halangan yang tak pernah kami inginkan. Jujur, aku merasa berat melepas
tempatku di pertunjukkan itu, aku merasa terpukul. Begitupun dengan anak-anak
yang lain, aku melihat kesedihan mereka karena kehilangan enam anggota. Tapi
aku tetap mendorong semangat mereka, karena ini adalah tanggung jawabku sebagai
salah satu penuntun mereka. Hari ini pun, anak-anak itu datang menjemputku,
menggandeng tanganku, meminta tuntunanku. Aku mengerti maksud mereka, mereka
ingin aku menemani latihan mereka hari ini. Aku pun bergegas, bergegas meraih
tangan-tangan kecil mereka.
Entah kenapa aku benar-benar merasa sedih, merasa
kehilangan segala kesempatan yang bagaikan hanya membawa harapan kosong. Aku
merasa semua pilihan yang aku buat terbuang begitu saja, tanpa ada hasil, tanpa
kebanggaan sedikitpun. Hatiku terasa penuh, terasa panas, terasa sesak saat aku
harus menerima kenyataan bahwa aku telah gagal. Menyesal rasanya karena telah
banyak membuang-buang waktu tanpa ada hasil yang nyata untuk diriku sendiri.
Aku menghela nafas kembali, memejamkan mata
sejenak dan bersiap menerima kenyataan yang ada. Ku coba ingat kembali mereka,
teman-temanku di teater dan anak-anak desa. Aku membayangkan kembali saat-saat
bersama mereka, orang-orang yang selalu ada untukku. Aku melihat tingkah
anak-anak desa yang sering membuatku kesal setiap kali latihan, tidak
menghiraukan kata-kataku, dan bahkan membuatku marah-marah. Aku bisa merasakan
canda tawa mereka, tingkahnya yang masih kekanak-kanakan, tangisaan-tangisan
lugu saat diganggu temannya yang lain, dan semangat mereka menyanyikan lagu
dengan nada yang memecah gendang telinga. Aku juga mendengar kembali kata-kata
konyol teman-temanku di teater, merasakan kebersamaan dan teringat
kejahilan-kejahilan mereka. Akhirnya aku belajar dari semua yang terjadi
akhir-akhir ini.
Semua yang terjadi memang membuatku terluka,
membuatku sedih. Tapi dibalik semua itu ternyata tak ada hal yang sia-sia.
Mereka semua mengajarkanku tentang ketegaran, tentang kebersamaan dan
kehangatan. Karena setiap orang punya kesempatan, hanya saja kesempatan itu tidak
berpihak kepadaku saat ini. Dengan begitu, aku bisa melepas anak-anak desa
menari dan bernyanyi tiga hari lagi tanpaku, dan aku yakin mereka tak akan
mengecewakan perjuangan yang sudah selama ini dilakukan dengan balutan aneka
rasa. Begitu pun dengan teman-temanku di teater, mereka membuatku mengerti jika
kami tak akan berhenti sampai disini. Karena kami takkan tenggelam lebih dalam
lagi dalam kekecewaan. Dan kami akan selalu menyatukan mimpi kami, membuat kami
semakin erat, dan akan terus berjuang karena kami tanpa laut. Biarlah mimpi
buruk berlalu di tahun lalu, dan bersiaplah mengepakkan sayap untuk terbang
bebas berlabuh pada mimpi indah di tahun yang baru ini. “dear my friens, we
can’t do everything before we try to do something. Do the best, to be the
best!”
Hmm… malam pun semakin larut, mata pun mulai
lelah setelah bernostalgia kembali dengan kenangan-kenangan itu, dengan
teman-teman teater yang konyol, dan anak-anak desa yang tak bisa diurus.
Akhirnya aku tertidur bersama saat-saat menyebalkan dan menyenangkan dimana aku
benar-benar di terima di sisi mereka, di tengah-tengah gerombolan wajah lugu
anak-anak desa, dan di antara kehangatan tawa teman-teman tanpa laut. Aku
menyukai itu, merasa bahagia, jatuh cinta dengan mereka, membencinya,
merindukannya dan kemudian jatuh cinta lagi padanya.
Teks
Ulasan
Judul cerpen : Sebuah mimpi
sebelum tidur
Penulis : Dita Mahardhika
Jenis cerpen : Fiksi
Tebal : 2 halaman
Cerita ini
dimulai dengan seorang pemuda yang susah terlelap di malam yang senyap, cerpen
yang ditulis oleh Dita Mahardhika ini ditulis olehnya berdasarkan pengalamannya
ketika masa-masa putih abu-abu bersama kawan-kawannya di desa.
Dalam cerpen ini, dikisahkan tentang
penyesalan seorang remaja sehingga kegelisahan menghantuinya ketika malam gelap
gulita yang membuatnya tidak bisa tenang. Ia telah mencoba dengan segala cara
tetapi bayangan tentang waktu liburan semester yang luang terbuang sia-sia
begitu saja. Seharusnya hasil keringatnya bersama teman-temannya berbuah kebanggan
dan senyum. Namun justru hanya kekecewaan dan luka yang ia dapatkan.
Dalam kekecewaannya itu terbesit
pandangan dari sisi positif seperti
kebersamaannya dan kawan-kawan teaternya. Suatu kata apapun tak bisa mewakili
tiap-tiap mata mereka yang melihat senyum yang telah tertoreh dari setiap
wajah-wajah masing-masing dari mereka. Bahkan, halangan layaknya hujan ,mendung
,gerimis ,becek dan badai halilintar akan sirna begitu saja ketika mereka
saling bertemu.
Bagi mereka memang berat
mengorbankan hari libur untuk kegiatan yang menyibukkan itu yang hanya untuk
sebuah pertemuan tetapi pengorbanan mereka didasari oleh mimpi yang sama.
Namun, tangis tak dapat dibendung ketika keringat mereka justru dibayar dengan
air mata. Di samping itu, mengingat dengan saat-saat itu justru membuat luka
yang mendalam itu semakin parah. Karena sudah sebulan ia dan anak-anak
(kawannya) di desanya belajar menari, belajar kekompakan dan khusus untuk
dirinya sendiri ia diajarkan bersabar dan tegar, ia berusaha agar itu membuahkan
hasil . Mereka anak-anak desa mencintai alunan gamelan yang menghanyutkan
jiwa-jiwa yang telah bersiap menunjukkan apa yang telah dipersiapka selama 2
bulan terakhir itu.
Selanjutnya tiba suatu hari yang
pada saat itu ia dengan berat hati bersama 5 anak yang lain tidak dapat iku
menari karena suatu halangan yang tidak pernah mereka inginkan. Begitu juga
dengan yang lain, mereka yang lain menampakkan wajah kecewa . Namun, ia tetap
mendorong semangat mereka. Di balik itu, ternyata tidak ada hal yang sia-sia
karena pada akhirnya itu mengajarkan pada mereka tentang ketegaran,kebersamaan
dan kehangatan. Kemudian setelah ia bernostalgia dengan semua itu, akhirnya
barulah matanya dapat tertutup dan pikirannya hanyut ke mimpi saat tidur.
Kelebihan cerpen ini yaitu suatu
pesan yang disampaikan tentang semangat pantang menyerah dan kebersamaan.
Walaupun akhirnya tidak pernah terbayangkan apa yang akan terjadi, tetapi
justru pada akhirnya hal itu mengajarkan tentang ketegaran dan kebersamaan yang
membawa ketenangan.
Cerpen ini sangat cocok dibaca oleh para remaja dalam
bergaul dengan teman sebayanya, utamanya sahabat. Selain itu, hal ini
memotivasi mereka agar selalu pantang menyerah apapun yang akan terjadi. Jika
suatu hal yang dilalui bersama-sama membuat kekecewaan maka kita harus tetap
bersabar,tegar dan jangan mudah putus asa .